Friday, 14 November 2014

Sepuluh

Seketika aku menahan malu dalam tawa. Bukan cuma dia yang sepi, Aku. Terlihat lirih saat aku menjadinya. Hanya nafsu cumbu,derai tangis dengan sepasang bola mata hitam kecil untuk ras mongoloid. Candanya menipu hingga aku berkata "Bagaimana seorang dia menjadi aku dimana kita bukan kamu?" Ini bukan sekedar benang merah untuk kaitkan hati lain di  dunia. Segelintir orang merasa tak ada sedang membawa bunganya kala malam meminta kami untuk diam menutup mata. Yah cuma dalam mendung aku mendaratkan perisai luka agar tak ada manusia lain didunia memandang.

Sepi ini seperti aku. Bukan kamu yang memandang aku di kelas sampai kita bertemu pada bulan untuk sedikit cahaya buat kita lupa. Lupa jika masih ada dia aku, di kamu, di kita, di kami sebagai akhir. Bukan kamu yang menjadi ego tiap bait laku aku tanda tak lupa bulan. Gelap ini sanjungan sayang. Tingkat uji saat tidak lagi tengok bulan pada malam. Redup bukan gelap, cuma ubah genap kian ganjil. Senyum pada kita jadi riuh kasar terucap. Bukan kamu yang jatuh akan mengundang tawa aku menggema sampai langit tau akannya. Akan merasa sampai deklarasi pembacaan naskah Tuhan.

Kosong ini seperti kamu. Aku yang lihat pakai pandang sempit seluas dunia. Pandang ini mengganggu, picik sambil membawa parang tanda perang. Biar ini jadi batinku, sisanya aku serahkan pada bulan yang bersalah minjemin terangnya sama kita dulu. Aku yang menderu kita sampai lagi injakkan langit didunia. Dunia saat aku jadi kita dalam naungan kepastian wujud janji pada insan.
Aku yang melulu menjadikanmu marah sampai tawa bahak lontar benci. Benci sampai aku ingin bertemu. Aku yang tak pandai tunjuk diri untuk beri riang kalbu aku.
-Sepuluh-

No comments:

Post a Comment