Wednesday, 31 December 2014

Lima Belas

Rintik kian cepat mendarat
Bukan lawan yang aku bagi kali ini
Karma akan kiat dalam luka menyeru
"Ah, lain kali aku akan berlari sampai hilang, sampai rintik tak lagi mendarat disini".
Harusnya tak begitu
Harusnya aku tetap diam hingga teduh tak guna lagi
Lain kali...
Iya, lain kali sayang...

-Hujan-

Monday, 29 December 2014

Empat Belas

Jinak hingga kalap aku melihat
Kamu mungkin jauh dari sini, aku
Terisak manja saat sumbing manis tertera
Hai gadis, apa gerangan kamu?
Yah, mungkin hanya pemanis kala jodoh tak di sini, aku.

N.B : Teruntuk Wanita Ku Kelak

-empatbelas-

Monday, 1 December 2014

Tigabelas

Kala waktu jalin akibat dengan sebab, pria ini membuka kamusnya, sekadar memilah sebab. Mungkin juga pada akibat. Indra kamu meluka. Penertawaan kawan berjejak halang hujan dari kedua mata hitam. Juga sembunyi babat putih. Pria ini terus mencari sembarang reaksi akan aksi laku pada dunia.

Kala waktu songsong sebab menilik akibat pada laju kian deru melaku. Masa hidup pria ini terengah saat pandang  bingkai sekar. Jinak memburu kabut kala senja untai malam. Kamu terlihat pasif. Meringkas lidah belot nyata jadi maya. Tangkas iringi daur napas menyeringai manusia. Pria ini memanusiakan taban agar perca berkawan.

Kala waktu mengadu, sebab hilang akibat. Pria ini masih bergumul dengan sutra. Ya, sutra kian perca ditempat yang sama. Kamu tak memilih hilang, hanya buta kakinya. Jika mata jadi sebab, maka hilang tangan. Dulu, pria ini serupa itu. Tercium kembali sengat dalam kamusnya. Kamu salahkan poros.

Kala waktu tau akan batasnya, sebab akibat berlalu. Pria ini acuhkan raga serta indra. Kamu menggetah seraya bungkuk. Kecap tak lagi rasa. Mungkin lidahnya sengaja hilang, atau ubah indra jadi pedang. "Ah biarlah, aku tau esok tak lagi sama dengan kemarin," pikirnya. Dalam ruangNya, pria ini masih mengabu pada kamusnya.

"Pria ini bawa pandora dalam kamusnya!" 


Wednesday, 19 November 2014

Duabelas

“Husniiiiii, foto yuk!” Awal kamu kala kita rintis ucap kita. Aku kembali padat dengan waktu yang tak lihai berkilah. Tubuhnya mungil, pas untuk mencoba seragam sekolah. Condongnya agar mendapat tempat jangkau. Dengan garis bibir khas cembung tatap Aku. Hingga mungkin menit tolak detik padanya. Jarak dengan abu hilang sampai mematah diri untuk sekedar bercermin. Sinar ini persis kemarin, sangat lampau.

Persis kerani terinjak priyayi. Adalah sikap kala waktu memakan habis saat menyalak timbun rasa. Ketika aku membuat elak laku pembenaran dalam pikir, kamu terlunta sesak akannya.  Mufakat salah sembari melagu biar tentram kita. “Kakinya yang memar jangan diteken kalo tidur, tengkurep aja biar gak sakit, gak nangis,” sahut Aku. Jika bukan ego untuk tak pilih waktu, lalu apa tega yang meninggalkan kita?

Jauh disana, ditempat kamu berdiri, kamu jadi kalian. Sendiri biar kamu bisa melihat tangan kamu sendiri, kaki kamu sendiri, lidah kamu sendiri. Dengan bebas sampai lepas bayangnya dalam golak rasa kamu. Aku yang meminta sunyi menarik teman perjalanan, jauh dari tempatnya duduk. Kamu yang meminta ramai untuk mengulur batas klimaks dalam nadi Kamu. Pangkal kian kokoh jadi Kamu biar delusi waktu ini urusannya.


 “Kalo kamu capek ya istirahat, makan kalo laper, minum kalo aus, tidur kalo ngantuk.Tapi jangan lupa bangunnya!”

-Duabelas-

Sunday, 16 November 2014

Sebelas

Ini dari wanita yang mengaku jodoh, padahal iya, sebut saja Sukiyem.
H : Udah  dirumah?
Kamu : Baru a, kenapa?
H : Password aku apa?
Kamu : Jadi nanyain udh nyampe apa blm basa basi doang nanya pass
H : Iyak hahahaha
Kamu : Lubajingan
H : Iyak itu aku udah tau
H : Passwordnya @gmail.com?
Kamu : Lubajingan
H : Oh itu passwordnya
H : Semuanya sama?
Kamu : Coba aja
H : Besok aja, sekarang ngantuk. Makasih ya
Kamu : Yang 10 aku ya?
H : Iya itu tau
Kamu : Ngaco banget, gak ada esensinya
Kamu : Aku maunya 8
H : Itu nanti buat ibu, kamu 10 aja
Kamu : Oh iya :))
Kamu : Kenapa 10?
H : Kita
H : Aku 1 kamu 0
Kamu : Bapuq
Kamu : Kamu harus ulang aku, soalnya gaada esensinya
H : Kamu jangan mikir ribet. Itu esensinya banyak. Sampe kamu gak kepikiran esensinya apa.
H : Kamu bacanya jangan pake kacamata, pake cermin biar keliatan
Kamu : Sekalian aja make lup
H : Jangan, ntar kamu kalah gede
H : Tidur ya
Kamu : Pikiran ini baru saja terkumpul, dunia ini baru saja lebih berwarna, dan hidup ini baru saja lebih hidup, seenaknya saa kau menyuruhku tidur.
H : Biar ketika kamu lupa akan bangun, setidaknya, itu yang terakhir kali kamu ingat.
Kamu : Bukan kamu yang membuatku mencintaimu. Tapi perasaanku sendiri biang keladinya
Kamu : Bisakah kamu menjawab, mengapa malam begitu indah?
H ; Sandar bawa lalu pada kenang. Teduh jiwa pada batas. Nyonya, bahasa bukan ucap. Nyata bukan arti, Laku sampai bukti. Nyonya, malam rindu, itu pilihanmu.
Kamu : Ada bisu dibalik bantalmu. Disitu tersimpan banyak ucapan selamat malam dan rindu yang berhenti di lidahmu.
Kamu : Selipkan namaku di dalamnya. Setidaknya, dibantalmu.
H : Takut kena iler. Ntar bau. Kamu gak suka
Kamu : Apalah arti iler, bilamana bau ketekmu melebihi kuli saja aku cium. Tapi hari ini, kau begitu wangi, Ah pasti bajumu, bukan ketekmu.
H : Coba retorikanya dibenerin. Eh bukan, otak kamu yang dibenerin.
Kamu : Aku kangen ketek kamu
H : Kamu gak bisa sama ketek aku. Dia udah ada yang punya
Kamu : Gapapa, asal hati kamu aku yang punya
-Sebelas-

Friday, 14 November 2014

Sepuluh

Seketika aku menahan malu dalam tawa. Bukan cuma dia yang sepi, Aku. Terlihat lirih saat aku menjadinya. Hanya nafsu cumbu,derai tangis dengan sepasang bola mata hitam kecil untuk ras mongoloid. Candanya menipu hingga aku berkata "Bagaimana seorang dia menjadi aku dimana kita bukan kamu?" Ini bukan sekedar benang merah untuk kaitkan hati lain di  dunia. Segelintir orang merasa tak ada sedang membawa bunganya kala malam meminta kami untuk diam menutup mata. Yah cuma dalam mendung aku mendaratkan perisai luka agar tak ada manusia lain didunia memandang.

Sepi ini seperti aku. Bukan kamu yang memandang aku di kelas sampai kita bertemu pada bulan untuk sedikit cahaya buat kita lupa. Lupa jika masih ada dia aku, di kamu, di kita, di kami sebagai akhir. Bukan kamu yang menjadi ego tiap bait laku aku tanda tak lupa bulan. Gelap ini sanjungan sayang. Tingkat uji saat tidak lagi tengok bulan pada malam. Redup bukan gelap, cuma ubah genap kian ganjil. Senyum pada kita jadi riuh kasar terucap. Bukan kamu yang jatuh akan mengundang tawa aku menggema sampai langit tau akannya. Akan merasa sampai deklarasi pembacaan naskah Tuhan.

Kosong ini seperti kamu. Aku yang lihat pakai pandang sempit seluas dunia. Pandang ini mengganggu, picik sambil membawa parang tanda perang. Biar ini jadi batinku, sisanya aku serahkan pada bulan yang bersalah minjemin terangnya sama kita dulu. Aku yang menderu kita sampai lagi injakkan langit didunia. Dunia saat aku jadi kita dalam naungan kepastian wujud janji pada insan.
Aku yang melulu menjadikanmu marah sampai tawa bahak lontar benci. Benci sampai aku ingin bertemu. Aku yang tak pandai tunjuk diri untuk beri riang kalbu aku.
-Sepuluh-

Thursday, 13 November 2014

Sembilan

Tunggu lusa tuk hapus dosa
Saka bambu rapuh jelang batas napas langitkan diri
Bungkam kata, sang mencita gores nadi peramah
Kala penyeru menyingsing malam, pagi jemput kami
Seakan ada, senang ukir khilaf dalam hari
Terlalu lelap tuk ingat dunia bukan surga
Lari tanpa kaki injak bumi, jatuh hilang tangan
Hingga ingat sesaat tertarik tanah
Lumpuh laku siksa aku
-Sembilan-




Tuesday, 11 November 2014

Tujuh

Kawan, awal sambut bahagia
Tawa ucap dera dalam kalbu
Senang dalam sedih, tampak liat jiwa
Bermuka-muka pada dunia, parau dengar penguasa
Sama lisan dengan tabir rupa
Main rasa tuk lapangkan lesung dada
Sesak tatkala minor lunglai menilik kaum raja
Kawan, aku satu saat mendua membagi rasa pada tiga
Umpat sepakat lontar liar tanpa lima
Empat bawa kami pada lalu
Masa enam bagi batas asing membumi
Kawan, semua cuma jerit abstrak
Hati untuk melisan, dirasa bukan dibaca
-Tujuh-

Sunday, 9 November 2014

Enam

Dia berjalan mundur menutup malu. Awal memang gak indah, hanya berkesan. Seketika itu pandang menuju dewi. Mukanya merah padam, terlihat manis memang. "Ciee husni witwiiw," itu suara para penggemar pertunjukan parodi hati. Tidak lama mendapatkan perhatiannya. Terburu - buru karena refleks menggebu. Pikir menang lawan hati.

"Nih aku bawain oleh - oleh manggo dessertnya." Sulit memang menolak. Jemarinya meluncur menghadap cakap. Masih luka dalam memori. Sampai saat ini tak datang menjemput. Kamu melangit tanpa raga. Aku coba mendaratkan kita dalam dunia. Bukan, salah singgasana. Ku putar pikir untuk dekati benci.

"Aku penjahat looh. Masih suka mabok - mabokan, maen cewek dimana-mana, judi, nyimeng, masuk bui. Aku bukan baik, masih mengabu disini," Ya, memang kulakukan untuk membayar banyak mata dalam pandang. Eksistensi buat nila pada perca. Banyak mengutuk, dari tinggi makin tinggi. Ibu menusuk, keluar aku dari guratnya."Ah bunda, siapa sih engkau? cuma jantung didalam hatiku. Terimakasih PidiBaiq!
(http://www.ayahpidibaiq.blogspot.com/2013/02/151-quotes-pidi-baiq.html)
-Enam-

Saturday, 8 November 2014

Lima

Lupa aku diawal sendiri, diakhir pun
Tiap ego bukan tidak rasa
Esensi hadir kini rusak insan dalam lamun
Salah sampai benar, benar tanpa ujung
Sepakat untuk tak bersabda, jelma aku
Kian rintih menduri padahal sama
Bukankah seperti itu kawan?
-Lima-

Empat

Sambil membawa kesal, aku mendatanginya dengan senyum. "Yuk pulang, udah malem nih". Ah aku memang tak lihai berbicara gamblang, Ku lihat kembali raut mukanya, tampak bingung, mungkin. "Yuk, tapi kamu kenapa?" tanyanya yang harusnya jelas dia punya jawaban untuk itu. Aku tetap bergeming. Ku nyalakan motor, lalu menawarinya duduk agar tanyanya tetap menggantung sampai rasa diujung ubun.

Kamu duduk, dengan pertanyaan yang sama."Enggak, gapapa" timpalku sampai suasana diujung upacara bendera dengan latar lagu mengheningkan cipta. Saking khidmatnya, kita diam. Angin makin kencang disini, "Emas itu ketika kamu tak sedang dipuncak, tak sedang berkata, merasa." Sial, ini bukan tentang emas dipuncak. Kamu masih diam. mungkin sudah sampai diubun, pikirku.

Sampai dirumahnya, kamu berucap dengan mata coklat memerah. Yah, dunia mana yang tak bergetar melihatnya. Ku matikan mesin, lalu masuk dalam perkara. "Jadi, kita ini lagi jalan, aku dibelakang liat punggung kamu. Kamu didepan liat masa depan. Kamu lari, aku bingung. Kamu terus keenakan lari, sampe suara aku manggil kamu gak kedengeran. Aku ngarepnya ada Mak Lampir jadi Justin Bieber, Justin Bieber jadi Agung Hercules, Agung Hercules jadi Presiden biar kamu bosen didepan terus noleh kebelakang liat aku. Cuma liat kok, udah cukup, cukup buat bekel jalan ngikutin kamu. Kamu, iya kamu masa depan." 
-Empat-

Friday, 7 November 2014

Tiga

Senyap kedalam lidah liku
Kaku mengabai rasa
Dia sebab kecil mendesak abu ubah putih
Diam saat sapa histeris
Lumrah memang, kedipan mengucapi rasional diri
Pelik elak maksud mengantar hati
Sampai kekang runut kasih
Berhingga tiga tak lepas malam
Tiga, ingatkan lupa.
-Tiga-

Thursday, 6 November 2014

Dua

Dimana ketika aku melihat seorang wanita dengan jilbab putih, berseragam dengan lambang OSIS didada kiri. Ku kira dia hanya sekedar menatap dengan mata coklat. Sekilas, alisnya tipis. Mungkin ia lupa mewarnainya ku pikir. Yah, pengecut memang untuk membalas teguran dengan mata hitam ini. Keluar membawa banyak tanya. "Nama! Ya! aku butuh satu nama untuk menyebutnya didunia". "Pikirlah tuan, bagaimana aku melihat satu wujud tak bercacat tadi?". "Sudah lah sayang, menyerah saja dan nyalakan rokok ini agar beban mu berkurang".

Tak ada salahnya memang menuruti itu, Ku bakar rokok sebagai pengalih rasa yang kuterima tadi. "Ah tai lah, pengalihan ini gak jalan". Aku tetap mencari untuk menyirnakan kaku. Ini bukan aku, semakin dicari, bingung. "Hus, lu ngapa si ?!", sapaan biasa para kameo dalam setiap cerita. Ahsan namanya. Ku kira dia bangsawan cina dengan otak seadanya berparas persis boyband korea pada masanya. Tapi, setelah ku telusuri ternyata dia bukan bangsawan dan dia bukan orang cina. Yasudah lah, suka suka aku mau manggil dia apa. Dia juga gak bakal marah. Aku tau itu karena aku pernah bakar jemb*tnya. Dia malahan berterima kasih. Aku juga.

Aku malas membalas pertanyaanya. Ku jawab dengan senyum seadanya dengan masih memegang rokok disela jemari. "Ah elu, cengar cengir cepirit doang", ya memang mulutnya disetting sama tuhan buat asal bunyi. "Cewek yang tadi kan? yang liatin lu dari lu duduk sampe bediri lagi?" tambahnya. "Kaku lu hus kayak bh baru, kenalan aja si tanya namanya". Memang ide menarik sih, tapi belum saatnya untuk realisasi, pikirku. "Sableng lu yak, mana ada yang ngeliatin gua yang begini kalo gak nyari jijiknya doang. Atau dia lagi neliti kelakuan primata terhadap manusia" ujarku untuk mengakhiri obrolan imajiner ini.
-Dua-

Satu

Semua menuntut
Terkadang mengiba merintih sakit
Makna sembunyi lirih, mungkin
Lihai tak mendengar, padahal merasa
Munafik dulu, baru yakin
Batas tak tentu dengan selinting daun syarat ragu
Satu ketika selain itu bahagia
Satu untuk menistakan dunia
Satu hingga peka sebagian
Satu akhir berjalan pelan.
-Satu-